Antara Sri Mulyani dan Demokrasi Indonesia

Selesai sudah pengabdian Sri Mulyani kepada bangsa Indonesia. Selama lebih kurang 5 tahun Sri Mulyani menjadi menteri keuangan mencurahkan pikiran dan tenaga menjaga perekonomian Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran Sri Mulyani sangat besar dalam menjaga perekonomian Indonesia tidak runtuh menghadapi krisis ekomomi dipenghujung tahun 2008. Saya kira bagaimana peran Sri Mulyani dalam menghadapi krisis global 2008 tersebut tidak perlu diulas lagi karena kita semua sudah tahu. Yang ingin saya ulas pada postingan kali ini adalah akhir dari karier seorang menteri yang diakui dunia internasional tidak hapy ending karena sistim politik yang masih dalam tahap belajar berdiri kokoh ini.

Sebelum masuk ke pokok postingan tersebut tidak ada salahnya saya ulas sedikit mengenai kondisi politik Indonesia yang berubah total sejak reformasi 1998. Sejak reformasi 1998 banyak bermunculan partai politik yang dengan berjalannya waktu banyak yang hilang tumbuh berganti. Sudah barang tentu partai politik mempunya tujuan masing-masing. Tidak mungkin menyatukan seluruh partai politik dalam satu komando. Inilah arti dari demokrasi itu yang sesungguhnya, menurut saya Indonesialah sebenarnya yang menerapkan demokrasi yang sesunggunya sehingga situasi menjadi seperti sekarang ini. Apa itu situasi yang saya maksud? Situasi politik Indonesia sekarang ini jadi banci tidak jelas jenis kelaminya gara-gara demokrasi yang kelewatan. Menurut saya kemampuan Sby dalam mempertahankan kekuasaannya saat inilah ujian yang sebenarnya. Masa Pemerintahan 2004-2009 Sby relatif terjaga kekuasaannya karena ada partai politik besar yang ikut dalam sistim kekuasaan. Gabungan kedua partai politik penguasa saat itu relatif stabil. Kita bandingkan situasinya sekarang ini. Meskipun partai Sby adalah pemenang pemilu legislatif tetapi jumlah kursinya di DPR tetap belum mayoritas untuk mengamankan langgengnya kekuasaan Sby. Konsekuensinya adalah harus menggandeng partai politik lainnya sebagai koalisi dalam pemerintahan dan parlemen.

Koalisi saat ini sangat berbeda jauh dengan koalisi 2004-2009 yang ada dua nahkoda yang masing-masing menahkodai partai politiknya masing-masing yang relatif menguasai parlemen. Saat ini hanya ada satu nahkoda yang menahkodai satu partai politik yang tidak menguasai mayoritas parlemen. Maka sudah sewajarnya apabila Sby berusaha untuk merangkul sebanyak mungkin partai politik yang ada di parlemen untuk ikut dalam sistem eksekutif pemerintahannya. Memang akhirnya sebagian besar partai politik yang diajak bersedia untuk ikut dalam sistem tersebut, namun seperti sudah menjadi tabiat partai politik yang mempunyai tujuan sendiri-sendiri, maka jalannya koalisi tidak seperti yang Sby harapkan.Maka tidak mengherankan Sby seperti kena istilah "teman makan teman" sehingga salah satu "teman" harus rela dengan setengah terpaksa meninggalkan negeri ini untuk terpaksa duduk di kursi empuk di sana nun jauh dari Indonesia.Sampai kapan kondisi yang mirip seperti ini nanti akan terus berulang meski dengan wujud yang berbeda tapi intinya tetap satu, yaitu tiadanya kemandirian sistem pemerintahan akibat dari kebancian sistem tata negara kita. Antar sistem presidential dan parlementer memang sudah jelas yang jadi pilihan kita yaitu presidential namun terkontaminasi berat dengan sistem parlementer karena saat di tata ulangnya tata negara kita dulu di era reformasi parlemen terlalu berat kepentingannya dengan berlindung dibalik ketakutan sejarah masa orde baru.

Tidak ada komentar: